0

Sungai (Bagian 2)

Rabu, 04 Juni 2008

.......................

Belum tuntas sarapannya, suara bapaknya sudah terdengar di luar memanggilnya. Terdengar juga suara motor astrea sudah dihidupkan membuat ia bergegas menyelesaikan sisa nasi dan menenggak habis kopinya. Segera ia beranjak keluar, yang langsung disambut dengan tangan bapaknya yang mengulurkan karet ban untuk mengikat karung katul di Jok belakang.
” Kamu berangkat sendiri, bapak mau bersihin kandangnya”
Biasanya mereka memang berangkat berdua, ia naik motor sedangkan bapaknya bersepeda sehingga mereka bisa belanja dua karung sekaligus. Jika berangkat sendiri seperti ini berarti dia harus bolak-balik dua kali.
” Kamu tadi malam pergi sama Luluk?”
Dia terkejut mendengar pertanyaan bapaknya
” Iya. Jalan-jalan sebentar”
” Kamu pacaran sama dia?”
Dia tambah terkejut. Setahunya belum pernah bapaknya menanyakan hal-hal seperti itu padanya, ia hanya diam dan sedikit celingukan. Melihat tingkah anaknya bapak itu seperti paham apa yang sedang terjadi,
” Kamu sudah dengar belum kabar semalam”, bapaknya bicara lagi. Ingatlah dia kini dengan rasa penasarannya mengenai kabar baru yang akan ditanyakan pada bapaknya. Tapi sebelum sempat bertanya bapaknya sudah mengawali’
” Bapaknya Luluk semalam dipukuli orang”
” Dipukuli?”
” Iya, di Tunjungsari. Ketangkap basah sedang maling, nyetrum ikan di tambak-
tambak sawah sama si Mul, kakaknya itu”
” semalam?”
” Iya. Untung nggak mati mereka. Sekarang di Polsek, tambah habis mereka
dihajar polisi”
Seperti ada petir menyambar dadanya. Pikirannya lari ke Luluk, kekasihnya itu. Apa yang dirasakan gadis itu sekarang, tahu bapaknya dipukuli karena maling ikan. Bagaimana dia akan menahan pedih dan malu karena dalam sehari saja seluruh pelosok desa akan tahu dan membicarakannya.
” Bukannya mereka nyetrum ikan di sungai?”
” Ya pertamanya memang di sungai, tapi lama-lama mampir kemana-mana,
apalagi lewat Tunjungsari, tambaknya banyak, ikannya Gurameh semua. Ya
itulah yang namanya godaan. Makanya kamu jangan dekat-dekat dulu dengan
gadis itu, nanti keluarga kita kena sangkut paut, malah tambah masalah...”
Ia kaget setengah mati mendengar kalimat bapaknya yang terakhir, tapi ia tak berani menjawabnya. Mulutnya terkunci. Diikatkannya karet ban itu di jok belakang, dan dilajunya motor itu pergi beli pakan bebek buat neneknya. Sepanjang perjalanan pikirannya hanya ke Luluk, hatinya diliputi begitu banyak pertanyaan. Apa jadinya jika mereka bertemu nanti. Dengan cara apa dia akan menghibur gadis itu. Biar bapaknya maling, rasa sayangnya tidak akan hilang, biar orang mau bilang apa. Tapi Luluk pasti akan malu padanya, ah, wajah yang semalam begitu berbinar dan bahagia pasti sekarang begitu murung dan kecut. Pipinya yang lembut akan mudah diliputi air mata. Kenapa juga semua ini mesti terjadi, pikirnya. Kenapa orang harus miskin dan susah cari makan. Kalau bapaknya Luluk kaya pasti tidak akan maling ikan, dan anaknya tak perlu menanggung malu dan yang jelas, hubungannya dengan kekasihnya tidak akan terganggu dengan suara ini dan itu. Tapi apa yang dia tahu, hidupnya juga miskin. Dia sendiri hanya tamatan SMA yang susah cari kerjaan.
Setelah selesai mengantar dua karung pakan bebek dia segera melarikan motornya ke rumah dan mengambil sabit karena orang-orang sudah mulai berangkat gotong royong. Hari ini mereka akan membersihkan talud dan membetulkan genting gardu yang sudah bocor di sana-sini. Benar juga dugaannya. Sepanjang gotong royong, hampir semua orang membicarakan berita itu. Dari yang tua sampai yang muda dengan sumbernya sendiri-sendiri mengeluarkan pendapatnya persis berita selebritis di tv. Dia hanya mendengarnya dan tak ikut bicara, tangannya seperti tak kuat lagi mengayunkan sabit. Semi yang tahu mengenai hubungannya dengan Luluk paham dan juga tak ikut-ikutan mengobrolkan kabar itu. Tapi suara-suara itu terdengar semakin keras di telinganya. Setiap hinaan bagi keluarga Luluk terasa hinaan juga baginya. Ia masih bertahan di situ karena penasarannya untuk mengetahui kabar itu selengkap mungkin.

” Namanya juga maling, ya memang harus diberi hukuman”
” Kalau begini kan kampung kita yang malu”
” iya, bisa-bisa yang lain juga dicurigai doyan maling”
Pak Tris, Karman, dan Kang Pendik adalah kelompok yang paling semangat mengobrolkan hal itu,
” Dulu juga sebenarnya sudah pernah, kamu ingat nggak Man kasus yang di Tegal
dulu?”
” Masalah ayam itu”
” Masalah ayam apa ?”, tanya kang pendik
” Mereka dulu juga pernah maling ayam di Tegal, ketahuan juga sama yang
punya, tapi karena masih saudara sendiri akhirnya damai, ditutupi, supaya
kabarnya nggak kemana-mana”
” Lho yang di Tegal maksudnya punya Mbah Kardi, dia kan masih terhitung
paman mereka”, sambung kang Pendik
” Lha ya itu, kok tega-teganya. Kalau masalah sulit makan, kita juga semua orang
susah. Tapi kan nggak harus maling, orang dia miskin juga karena kebanyakan
main.”, Pak Tris semakin menghangatkan suasana, dan Karman pun nggak mau ketinggalan,
” Kakak adik kompak dari dulu, maling kok kompak, ya kompak juga pas
dipukuli”
” Memang banyak Man yang ngeroyok”
” Katanya sih puluhan orangnya, yang memergoki pertama itu malah Mbah surip
tukang cukur itu, sama siapa aku lupa. Tapi katanya pas keliling pingin buang
air, terus mampir ke sawah. Pas lihat ada dua orang mencurigakan di tambak,
terus didekati. Begitu tahu mereka sedang nyetrum ikan, mbah surip pelan-pelan
pergi ke gardu panggil kawan-kawannya, langsunglah mereka berhamburan ke
tambak. Mereka berdua lari pontang-panting, tapi akhirnya kena juga waktu
nyebur ke sungai”
” Jadi dipukulinya di sungai Man?
“ Iya. Katanya kepalanya dicelup-celupkan juga. Di rendam sampai mau mati.
Mulutnya si Mul katanya malah sobek dicocor pakai obeng, itu sih katanya pak
Kadus, tadi pagi kan dia sudah ke Polsek, menjeguk sekalian dimintai
keterangan katanya”

Hatinya semakin tak karuan mendengar obrolan-obrolan itu. Ditaruhnya sabit dan diambilnya minum dari teko yang disediakan para ibu rumah tangga. Mulutnya terasa kering dan tubuhnya lemas bercampur pegal karena tidurnya semalam yang tak lebih dari dua jam. Matanya terasa berat. Ia sandarkan tubuhnya di didinding gardu dan menyalakan sebatang rokok yang juga dia ambill dari jatah konsumsi gotong royong. Mulutnya tambah terasa kering. Tapi dihisapnya terus dan dikepulkan asapnya ke siang yang sudah beranjak panas. Obrolan-obrolan itu masih lamat didengarnya, dan ia pasang telinganya benar-benar ketika salah satu dari mereka membicarakan tentang Luluk.

" Lha si Luluk itu jadi pergi nggak?" Pak Tris memulai
" Kemana?"
" Lho katanya mau ke Malaysia, jadi TKW"

Matanya yang tadi begitu berat tiba-tiba seperti mau keluar dari kelopaknya, kaget bukan main ia mendengar omongan Pak Tris itu. Luluk meu pergi ke Malaysia, benarkah itu? Pak Sugeng, guru SD yang dari tadi banyak diam akhirnya ikut menimbrung,

" Seharusnya ya jadi. Ibunya minggu lalu kan sudah ke Pak Kadus, minta tolong
diuruskan surat-surat untuk jadi TKW. Slamet Maklar itu juga dimintai tolong
supaya anaknya bisa berangkat ke Malaysia. Katanya Si Slemet itu sudah
menjanjikan bulan depan sudah bisa berangkat, tapi kumpul dulu di Jakarta"
" Ya memang seharusnya begitu, kalau bukan dia, siapa lagi yang akan menolong
keluarga. Apalagi sekarang, bapaknya kena masalah seperti ini" Karman menambahi
" Siapa tahu nanti di malaysia malah sekalian ketemu jodoh, dapat bule kaya, makmur hidupnya" Mbah Sudi, bapaknya Kang Pendik, ikut nyeletuk
" Ngawur, di Malaysia itu nggak ada bule, orangnya item, kayak kita ini mbah" Karman cepat menyahut yang disambut tawa hampir semua orang,
" Biar kulitnya item, kalau duitnya bule ya sama saja" Mbah Sudi tetap tak mau kalah,
" Halah, kayak kamu pernah lihat duit bule Mbah?"
" Pernah! Dulu waktu jaman Kumpeni" Pak Tris ikut meramaikan dan terus bersambut dengan suara-suara lainnya. Mereka cekikikan dan tertawa membahas uang bule dan Malaysia. Malaysia yang jauh yang dibayangkannya ketika malam itu ia melihat lampu-lampu di Jogja bersama Luluk. Kenapa gadis itu tak pernah bercerita kepadanya, kenapa gadis itu yang akan meninggalkannya pergi. Seperti dipermainkan perasaannya selama ini. Kekasihnya akan merantau, bertahun-tahun, dan akan mengenal dunia yang pasti lebih indah dan menarik dari kampung ini. Luluk akan bertemu banyak laki-laki yang jauh lebih hebat dari Aris supir colt pasir itu. Semakin banyak yang akan menggoda kekasihnya, sementara dia akan jadi kenek pasir, berkeringat naik turun gunung dengan penghasilan yang tak seberapa dan tak tahu harus menunggu berapa lama sampai bisa nyupir sendiri. Kebahagiaan yang begitu sempurna semalam hancur lebur siang ini. Nyetrum ikan, maling ayam, malaysia, kenek pasir, dan semuanya menambah kepalanya terasa berputar-putar. Ia berdiri terhuyung dan mengambil sabitnya. Ia langkahkan kakinya pelan menjauh dari kerumunan dan pulang ke rumah. Di telinganya lamat tedengar beberapa suara memanggilnya dan menanyakan kenapa pulang, tapi ia tak bisa menghiraukannya lagi. Di kepalanya hanya terbayang sinar bulan yang menembus jendela dan menimpa wajah Luluk yang begitu iklas memberikan semuanya sementara di desa lain bapaknya sedang ramai-ramai dipukuli di tengah sungai yang ia tak pernah tahu apakah sama dengan sungai dalam mimpinya.

Jogja, 1-4 juni 2008