0

Sungai ( Bagian 1)

Kamis, 29 Mei 2008


Jam 2 pagi. Setelah begadang dan sedikit mabuk, ia membanting tubuhnya di kasur tipis dalam kamarnya yang dipenuhi bau puntung rokok dan remah roti yang berceceran. mulutnya menggumam, dan tubuhnya bergetar-getar sebentar seperti menahan demam. Angin di luar jendela mendesir, menyusup lewat lubang-lubang ventilasi mengirimkan dingin yang membuat kedua telapak kakinya saling menggesek satu dengan yang lain. Ia berguling sebentar sambil menarik seprei lusuh dan menjadikannya selimut. Ia tutup sekujur tubuhnya dan membuat dirinya seperti mayat yang kedinginan. Tampaknya usahanya lumayan berhasil, walau pun sesekali batuknya muncul, tapi tak lama akhirnya ia bisa tertidur.

Dalam tidurnya ia bermimpi, ada sungai tiba-tiba muncul di belakang rumahnya, sungai kecil yang tenang, dengan deretan pohon waru berderet sepanjang tepian, dan ia berdiri di bawah salah satu pohon itu memandang ke air yang hijau dan tenang. Tak ada suara riak, hanya angin kecil sesekali menampar daun-daun waru dan pergi lagi. Dan sepi lagi. Ia langkahkan kakinya pelahan dan pelahan ia masukkan dirinya ke dalam air, air berkecipuk pelan membuat lingkaran-lingkaran mengitari tubuhnya. Sampai di tengah sungai ia berhenti, kaosnya yang basah tak dipedulikannya. ia menengadah, langit mendung di hari yang masih pagi. Tak ada orang yang datang, petani yang menjenguk sawah, anak-anak yang membawa layangan, semuanya tak ada, kemana mereka? cuaca ini barangkali yang membuat mereka enggan keluar rumah, hanya dia sendiri dan mendung menggantung di langit yang begitu luas. hari akan hujan. Dan tiba-tiba seperti disuruh oleh kekuatan yang entah macam apa, ia mulai melangkahkan kakinya di dalam air dan pelan-pelan ia mulai berenang menyusuri sungai itu. Ia terus berenang, semakin jauh, saperti tak punya rasa letih. Hari semakin sepi, mendung semakin tebal, tapi belum ada hujan. Di kanan kiri sungai, selain deretan pohon waru, mulai terlihat rawa-rawa dengan airnya yang hitam karena menyimpan bayangan mendung yang nampak semakin rendah seperti mau jatuh ke bumi. Mendung-mendung itu menggumpal seperti kabut hitam yang mulai menghalangi pandanganya, seperti sebuah gerbang besar yang menyambutnya. Ia terus berenang menuju kegelapan itu, sampai akhirnya tangan dan kakinya terasa begitu letih mengayuh di dalam air, pohon-pohon waru hampir tak terlihat lagi, juga rawa-rawa, tertutup oleh kabut hitam. Dan ia tak kuat lagi, tak ada tempat menepi, pelan-pelan air sungai yang sudah begitu dalam itu menelannya ke bawah. Ia tenggelam. Suara uap air yang keluar dari mulutnya bergemuruh di telinganya, tanganyya meraih-raih ke atas, tapi tak ada yang menolongnya, hanya suara gemuruh yang kian keras, kian keras.... . Dan ia terbangun. Keringat membasahi tubuhnya. Nafasnya ngos-ngosan. Di luar terdengar gemuruh hujan menimpa seng dan daun jendela. Suaranya persis gemuruh air dalam mimpinya. Tampaknya hujan turun begitu deras, aneh sudah beberapa minggu tak turun hujan. Bulan Mei ini musim sudah beranjak kemarau. Ia masih terduduk mengatur nafasnya. Belum sadar benar. Tiba-tiba ia teringat ibunya, yang sedang mengantar sayur ke pasar subuh ini. Wanita tua itu pasti kehujanan dan menutupi kepalanya dengan plastik kresek. Hatinya jadi tidak enak. Ia berdiri juga berjalan ke dapur dan meneggak segelas air lalu kembali ke kamar dan menyalakan rokoknya yang tinggal sebatang. sembari mengepulkan asap ia menengkan diri, mengingat sungai dalam mimpinya sembari mendengar gemuruh hujan di luar. Ia tak lagi bisa tidur. Azan sudah terdengar.
..............................

Kemarin Sore, Semi, kawan akrabnya mendatanginya di ladang waktu menyiram sayuran dan bilang bahwa dia punya informasi penting, kabar baik, sebuah SMS telah tiba di HPnya yang sangat dia banggakan, hasil ikut pamannya jadi buruh bangunan di Bogor selama 2 bulan.
"Heh! Luluk SMS aku..."
"Bilang Apa?"
" Rokok!"
Semi mengacungkan tangannya meminta pertukaran informasi berharga itu dengan rokok, dia lalu berjalan ke pinggiran ladang mengambil bajunya yang dia gantungkan di ranting pohon akasia yang mati, dari saku baju itu dia mengambil korek dan bungkusan rokok 76 lalu mengeluarkan dua batang isinya, ia menyulutnya dan memberikan satunya pada Semi, setelah ikut menyulut rokoknya, Semi tertawa-tawa dan memandang wajah kawannya yang semakin penasaran.
" Lekas kasih tahu, dia bilang apa?"
" Ha ha ha..., nanti malam kita minum anggur, pesta!"
" Cepetan!"
Tawa semi semakin keras melihat wajah kawannya yang terlihat sangat tidak sabar, lalu dia mengambil HPnya dan membuka SMS yang dimaksud dan menunjukkannya pada kawannya itu,
" Kamu baca sendiri"
lalu dia meraih HP semi, membalikkan badan dan sedikit berjalan menjauh dari Semi. Pelan-pelan ia baca SMS itu, dadanya berdesir.
" Heh, buat apa jauh-jauh bacanya? takut ketahuan? Aku kan membacanya lebih dulu"
"Dasar!"
"Sudahlah, pulang dan lekas cuci motormu itu, ajak dia kemana saja semaumu, dia juga pasti mau, dia sudah kepalang suka denganmu"
Ya, Luluk memang suka dengannya, dan dia juga suka sekali gadis itu, gadis yang hampir dewasa dengan dua mata yang selalu berbinar dan minta bermanja kepadanya. Semi saja yang telat tahu, juga kawan-kawannya yang lain, sudah hampir satu bulan ia menjalin hubungan dengan gadis itu. Kalau pun akhirnya Luluk kirim pesan lewat Semi, itu karena mereka susah bertemu, dan dia tak punya HP macam kawan-kawannya, yang kini setiap nongkrong bareng sibuk membicarakan SMS, janjian telpon, tarif pulsa terbaru, dan sebagainya...
" ajak dia ke Jogja, ada Band di alun-alun, gratis..."
Ya, tentu saja ia akan ke Jogja, minggu lalu mereka berdua juga sudah bepergian ke Jogja, kota yang masih akrab, terjangkau, dan membuka diri untuk orang-orang seperti dia. Di Jogja, dia suka menikmati jalanan dengan lampu-lampunya, yang membuat kepalanya berpikir jauh, warna-warna lampu yang berpendar itu membuat benaknya melamunkan kebahagiaan-kebahagiaan. Jingga, biru, kuning, hijau, ah, alangkah berwarnanya hari yang terbentang di depan sana, kemana dia akan pergi, jakarta, bandung, atau surabaya, buruh pabrik, buruh bangunan, atau ke malaysia, jadi TKI mengikuti tetangganya Trimanto yang sudah tiga tahun di negeri jiran itu, dan sudah bisa membantu adik-adiknya sekolah, bikin kamar mandi buat rumahnya, bahkan ruang tamunya sekarang sudah dikeramik, semua itu hasil upah kerja di malaysia. Ya, Malaysia, kenapa nama itu tiba-tiba terdengar begitu indah di telinganya, kata itu lebih terdengar sebagai masa depan yang cerah, yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Tapi alangkah jauhnya malaysia itu, alangkah berjaraknya masa depan itu. Apakah gadis cantik, yang kedua tangannya sedang erat mendekap perutnya itu akan akan bisa melepasnya pergi, apakah ia akan kuat menahan rindu, ataukah barangkali ia akan tergoda dengan pelukan yang lain. Luluk memang cantik, ramah dan baik. Banyaklah pria yang menaruh hati dan berharap-harap padanya, ia tahu betul hal itu, apalagi Aris, supir colt pasir yang bisa dibilang penghasilannya sudah lumayan itu. Aris sering mengajaknya jalan-jalan, SMS bahkan telpon sampai satu jam, bahkan hampir setiap dua minggu mengirimkan pulsa buat Luluk, itu tidak mungkin kalau ia tidak punya penghasilan yang lumayan. Ia pernah marah pada Luluk mengenai pulsa itu, tapi kekasihnya itu membela diri dan mengatakan bahwa dia sudah berusaha menolak dan bicara baik-baik dan tak tahu lagi harus pakai cara apa"
" Kamu suka dia kan?
" Kok kamu ngomongnya begitu"
" Coba aku sudah kerja"
" Ya sudah sana, cari kerja!"
begitulah, pertengkaran kecil sering terjadi antara mereka, bahkan Luluk kadang menangis. Kalau sudah begitu lantas dia mengusap kepala gadis itu, dan membisikkan kata-kata sayang seadanya, dan luruhnya semuanya lagi, lewat genggaman tangan dan dua hati yang tengah terbakar melumatkan kedua bibir mereka.

Semi tiba-tiba menepuk bahunya, sadarlah dia sudah lama melamunkan luluk.
"aku pergi dulu", kata Semi," Di sini juga cuma ditinggal melamun"
"Aku juga mau pulang, mandi..."
" Ya sudah, jangan lupa sisiran yang rapi, malam minggu malam yang panjangggg....."
Semi melangkah menjauh dan pergi dengan motornya. Sementara dia terduduk lagi sebentar sebelum akhirnya mengemasi alat siram dan bajunya lalu berjalan gontai menuju rumahnya.
Hari begitu lekas dan maghrib sudah hampir habis. Dia merapikan baju lalu keluar rumahnya. Di muka pintu ia menolehkan kepalanya kesana kemari. Ternyata sandalnya tidak nampak, ia lalu berjalan berjingkat ke belakang rumah mencari ibunya. Benarlah, memang sandal itu dipakai ibunya yang sedang mengikat bayam dan menaruhnya di keranjang belakang sepeda yang akan diangkutnya ke pasar dinihari nanti. Dia meminta sandal itu dan hanya melihat ibunya menggeleng-gelengkan kepala.
"kamu mau kemana?"
"jalan-jalan"
"sama siapa, mau minum lagi, sama Semi?"
"Siapa yang bilang! aku mau ke Jogja, jalan-jalan"
"Iya, sama siapa"
"Sama teman..."
" sama siapa?"
" Luluk"
Ibunya menarik nafas panjang lalu meneruskan mengikat bayam dan membelakangi anaknya,
" Hati-hati, jangan kebablasen, dia itu anak orang"
" Siapa bilang anak kambing"
" Kamu kalau dibilangi orang tua, selalu seperti itu"
" Lha memangnya aku berbuat apa, aku kan cuma mau jalan-jalan"
"Pertamanya memang jalan-jalan. Narti itu katanya dulu juga cuma diajak jajan bakso
sama Gunawan, lha kok jajan bakso tiga kali terus bunting begitu, coba bakso macam apa
itu? Lihat mereka sekarang, Gunawan nganggur, Narti sudah mau melahirkan, mau
dikasih makan apa anaknya besok, memangnya ada yang nyebar beras?"
"Siapa yang mau bikin bunting orang"
" Kalau sampai kamu begitu, kamu pergi saja dari rumah ini, malu aku. Sudah sana lekas,
pulangnya jangan pagi, besok banyak kerjaan"
Tapi Dia belum juga lekas pergi dan berdiri mematung. Ibunya menoleh dan melihat anaknya berdiri, tersenyum-senyum sambil mengacungkan kedua telapak tangannya,
" Bensin..."
" Masya Allah, pengangguran kok berani ngajak jalan-jalan..."
Ibunya lalu mengambil uang sepuluh ribu dari lipatan setagen yang nanti dia gunakan untuk mengikat bayam di sepeda dan mengulurkannya"
" Jajan baksonya?"
" Ya Tuhan..."
" Ayolah, ini malam minggu, seminggu kan cuma sekali"
Ibunya lalu masuk kedalam rumah, dan mengambil uang dari kamarnya. Dia tersenyum melihat ibunya keluar dengan selembar uang duapuluhribuan,
" nah, begini kan lebih baik, alhamdulillah..." ia lalu menepuk-nepukkan lembaran uang itu di jidatnya,
" Bapakmu kemarin sudah bicara sama pak Sunar"
" Sunar siapa?
" Sunar yang punya truk, katanya kamu boleh jadi kenek di truknya, ngangkut pasir dari merapi, soalnya Kocis, kenek yang lama, pulang ke Wonosari"
"O ya?"
" Dia juga bilang, mau ngajari kamu nyupir supaya bisa bawa truk sendiri, soalnya dia mau beli truk lagi, nah yang satu kamu yang bawa. Sudah sana lekas pergi, hati-hati"
Tiba-tiba saja seperti ada gairah yang luar biasa dalam dirinya. Ia lantas berlari ke Astrea 800 yang sudah siap diparkir di depan rumahnya. Motor tua itu sudah mengkilat dan gagah untuk usianya. Ia mencucinya tadi sepulang dari menyiram sayuran dan sebelum mencuci dirinya sendiri. Suara motor pelan menderu menjauh dari rumah, di atasnya seorang pemuda kepalanya sedang di isi lamunan. Ia membayangkan dirinya dengan topi bundar dan handuk di pundak menyupir truk turun dari lereng merapi. Gagah sekali, pikirnya. Dia akan dapat uang banyak. Si Aris pastilah akan kalah dengannya. Aris cuma bawa colt dan ambil pasir dari sungai. Dia membayangkan truknya yang gagah menyalip colt aris yang sedang mogok di tengah jalan. "Mampus Dia!" katanya dalam hati, "kalau dia kirim pulsa setiap dua minggu, aku akan kirim pulsa setiap dua hari, juga HP yang baru, yang ada kameranya". Dia terus melamunkan hal itu sampai tak sadar rumah luluk tinggal satu tikungan. Setelah berbelok nampak sudah gadis itu berada di jalan depan rumahnya bermain-main dengan adiknya yang masih kecil. Begitulah cara wanita itu menunggunya. Dia akan bermain-main di depan rumahnya dan penasaran setiap ada suara motor yang berbelok di tikungan. Wajahnya yang berharap-harap cemas dengan rambut lurus yang terurai di pundak semakin sempurna karena ditimpa sinar bulan. Melihat yang ditunggu sudah datang, gadis muda itu lantas berlari ke dalam rumahnya, dan keluar lagi dengan memakai jaket berwarna kuning dan menenteng helm di tangannya,
" Ayo cepet, keburu malam"
" Kamu sudah pamit?"
" Sudah"
" Sama Bapakmu?"
" Ibu. Bapak nggak ada"
Segeralah dua insan itu melaju di atas dua roda, membelah kampung menuju jalan aspal kecil yang menggaris di tengah persawahan menuju jalan raya besar yang menuju Jogja. Sampai di Jogja sudah hampir jam setengah delapan. Mereka nonton Band sebentar di alun-alun utara, tapi karena hampir semua yang pentas band-band indie yang membawakan lagu-lagu barat yang mereka berdua belum pernah mendengar apalagi tahu judulnya, akhirnya mereka memutuskan pergi makan saja. Akhirnya mereka duduk di tikar lesehan di alun-alun selatan makan jagung bakar dan wedang ronde. Lama mereka duduk bercengkerama, bercanda, dan membicarakan kawan-kawan di kampungnya. Jauh mereka pergi ke kota, sampai di sini juga hanya kampung halaman yang dibicarakan. Sudah jam sepuluh, mereka memutuskan pulang.
Di perjalanan pulang, tangan luluk tak pernah lepas dari pinggangnya. Sesekali ia juga melepaskan tangan kirinya dari stang dan mengusap-usap jemari kekasihnya itu yang kian dingin diserang angin malam. Tapi tak ada dingin yang mereka rasakan, hanya hangat yang mengalir menebarkan hasrat yang luar biasa. Cinta. Betulkah itu? mereka tak pernah tahu. Bulan di atas menemani mereka sepanjang liku perjalanan pulang , dan sampailah mereka di jalan kecil di tengah sawah-sawah itu.
"Bapakmu pergi ke mana?" dia mulai membuka pembicaraan dengan Luluk
" Nyetrum Ikan, katanya sama Pakdhe Mul"
" Oo, pulangnya jam berapa?"
" Biasanya subuh, terus ikannya langsung dimasak ibu buat sarapan"
Sebuah rencana mendadak hinggap di kepalanya. Ia tidak mau langsung mengantar Luluk pulang. Toh Bapaknya pulang pagi, ibunya juga paling sudah tidur dan tak akan banyak bicara. Ia tiba-tibe berbelok dan menuju ke arah lain"
" Kamu mau kemana?"
" Ke rumah simbah sebentar, ngantar pesenan"
" Pesanan apa?"
" Sudahlah, kamu diam saja, cuma sebentar kok"
mereka masuk ke sebuah kampung yang hampir semua rumah-rumahnya sudah mematikan lampu. Di depan sebuah belokan, ia hentikan motor dan berjalan turun melihat-lihat keadaan. Setelah yakin tidak ada orang yang sedang ronda keliling ia hidupkan motornya lagi pelan sampai masuk ke sebuah halaman yang cukup besar dan rimbun dengan pohon-pohon melinjo dan rambutan. Itulah rumah kakeknya, ayah dari ibunya, yang sudah bisa dibilang pikun dan hidup sendiri karena sudah cukup lama ditinggal istrinya. Ia turun dari motor dan memberi isyarat pada luluk untuk mengikutinya pelan. Setelah sampai di muka pintu, ia mengetuk,
" Mbah, simbah...., buka pintunya mbah" lama tak ada jawaban. Orang tua itu pasti sudah tidur atau barangkali tidak mendengar karena sudah bisa dibilang tuli.Tapi lamat terdengar radio menyiarkan wayang kulit dari dalam rumah. Nah, berarti kakeknya itu sedang mendengarkan wayang pastinya. Ia keraskan suara ketukannya di pintu,
" Mbah! Buka pintunya Mbah!
Luluk yang mendengar suara kekasihnya begitu keras, gelisah dan ketakutan, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri kalau-kalau ada orang yang leawat dan memergoki mereka. Tak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam,
" Siapa?"
" Aku Mbah, aku!"
" Ooh kamu, sebentar..." Walaupun sudah hampir pikun tapi jika mendengar ia bisa jelas mengenali suara cucunya itu,
" Buka pintu dapur saja Mbah. Pintu Dapur! aku mau lewat belakang"
" Pintu belakang?"
" Iya! Cepet Mbah!"
Kakeknya itu menurut saja pada kemauan cucunya, ia melangkah pelan menuju belakang. suara sandalnya yang diseret terdengar jelas dari samping rumah ketika mereka berdua juga berjalan ke belakang lewat samping menuju pintu dapur. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan seorang kakek dengan kulit keriputnya dan punggung yang sudah melengkung berdiri di tengahnya dan melihat ke arah meraka. Luluk berdiri di belakang, bersembunyi di balik punggung kekasihnya"
" Kamu sama siapa?"
" Sama temanku, Mbah"
" Siapa?"
" Semi, anaknya Marno Rambak, mau tiduran sebentar, capek dari Jogja"
" Oooo, ya sudah, kalau mau minum teh bikin sendiri, air panasnya di termos, sore tadi
ibumu yang ngantar ke sini"
" Iya mbah"
Ia lalu melihat kakeknya berjalan ke dalam. Setelah memastikan kakeknya masuk ke kamar dan asyik dengan siaran wayangnya, ia menarik tangan luluk masuk pelan ke kamar belakang yang bisa dibilang letaknya di pinggir dapur. Luluk sudah paham apa maksud kekasihnya itu. Ternyata kemesraan belum selesai malam ini, hasrat minta diteruskan, dan dia menurut saja, kalaupun di bawa pulang belum tentu dia bisa tidur sampai pagi. Matanya hanya akan terbuka sepanjang malam menatap langit-langit rumahnya dan membayangkan kehangatan dekapan tangan kekasihnya itu. Sampai di dalam kamar, tanpa basa-basi ia langsung melumat bibir Luluk dan memepetnya ke tembok. Gadis itu membalas, suaranya mendesah, tangannya menyelusup ke dalam kaos kekasihnya. Tak lama kemudian, dua insan itu membanting tubuhnya ke kasur dan bergumul berdua, satu persatu baju dilucuti, satu persatu setiap hasrat yang ada ditumpahkan dalam kamar yang tak punya penerangan sama sekali, hanya sinar redup bulan yang menyusup lewat lubang-lubang jendela dan genting kaca. Semuanya berlalu begitu cepat, barangkali mereka belum sadar apa yang terjadi. Dia melihat kekasihnya yang terbaring telanjang di sampingnya, dengan sedikit bantuan sinar bulan dia bisa melihat wajah itu tersenyum, lihatlah ia tidak menangis seperti dalam film-film yang sering ditontonnya ketika perempuan kehilangan daranya untuk pertama kali. Wajah itu begitu ikhlas memberikan semuanya, bibirnya bergetar dan dia mengecupnya sebentar. Lama mereka hanya saling pandang dan berpeluk, sampai akhirnya Luluk berbisik untuk cepat pulang karena ibunya pasti akan memarahinya habis-habisan. Sudah jam dua belas lebih, dia baru sadar bahwa dia harus mengantar Luluk pulang dan harus mencari jalan aman di dua kampung untuk menghindari orang-orang yang patroli ronda atau siapa pun saja. Setelah berpakaian, kemudian ia menyuruh Luluk keluar dulu dan menuju halaman. Setelah itu ia mendatangi kakeknya untuk berpamitan, tapi ternyata lelaki itu sudah terlelap di samping radio yang tak berhenti membuainya dengan suara-suara sinden yang seperti datang dari surga. Ia membangunkan orang tua itu pelan, dan bicara di dekat telinganya,
" Mbah, saya pulang dulu, pintunya dikunci"
" Hah?"
" Pintunya dikunci, saya mau pulang"
" Iya, iya..."
Ia kemudian meninggalkan kakeknya, keluar lewat belakang, dan menuju ke halaman di mana Luluk sudah menunggu di samping motor. Ia hidupkan motornya, dan melajunya dengan pelan sambil terus mengawasi keadaan kalau-kalu ada orang yang melihatnya.
Tak lama kemudian sampailah ia di depan rumah Luluk. Gadis itu langsung cepat turun dan berlari ke samping rumah. Pelan dia buka jendela kamarnya yang memang sengaja tidak dikunci olehnya. Ia naik melompat dan masuk ke kamarnya. Sebelum menutup jendelanya lagi, ia sempat melambaikan tangan pada kekasihnya yang berarti aman dan juga sampai jumpa. Dia membalas lambaian tangan Luluk lalu menghidupkan motornya dan berlalu. Semua sudah dilewati, dan bahagia tentu saja.
Sampai di gardu ronda, Semi dan kawan-kawan yang lain : Sugeng, Rawit, Gembuk, dan lainnya sudah terlihat begitu ramai, bergitar, bercengkerama, dengan beberapa botol Orang Tua dan bir Bintang di dekat mereka. Beginilah mereka, uang seribu, dua ribu, hasil membanting tulang seharian hanya habis buat minum. Tapi tak apalah, toh malam begitu indah untuk dilewatkan. Ia segera bergabung, dan minum sedikit Orang Tua. Tak lama kemudian bibirnya sudah meneriakkan lagu-lagu cinta. Sampai jam dua, dia memutuskan pulang dulu, dengan alasan mau membantu ibunya menyiapkan bayam untuk dibawa ke pasar.
Maka pulanglah dia, sampai di rumah, sepeda dengan ikatan-ikatan bayam itu sudah tak terlihat, pasti ibunya sudah berangkat, mengayuh 25 kilometer membawa bayam ke pasar Sragu Klaten untuk pulang pada saat matahari terbit dengan dua puluh sapai tiga puluh ribu rupiah di tangan, yang salah satunya sudah ia jadikan wedang ronde dan jagung bakar bersama Luluk di Alun-Alun tadi malam. Sudah lebih sepuluh tahun kerja itu dilakukan ibunya dengan sepeda yang semakin reot seperti tubuhnya sendiri. Ibunya tak pernah mau naik motor, takut katanya, "Nggak bisa, nggak mbakat", begitulah alasannya.
Ia segera membuka pintu dengan kunci yang ditaruh di atas meteran listrik dan menuju kamarnya. Ia melihat jam dinding sebentar. Jam dua pagi. Tubuhnya terasa begitu ringan, berjalannya mulai miring dan kepalanya sedikit pusing. Ia pun memutuskan untuk segera tidur.

...........................................

Pagi ini waktu keluar dari rumah, cuaca terasa begitu segar. Hujan yang menyiram desa semalaman mengangkat bau tanah dan menyisakan basah di dedaunan pohon-pohon melinjo dan mangga di depan rumahnya. Hari ini ia tak perlu menyiram sayuran. Hujan sudah menggantikan tugasnya. Perutnya terasa lapar, dan ia menuju ke dapur dan melihat ibunya sedang menggoreng telur. Terpaksalah ia menunggu dulu sambil membuat segelas kopi.
" Kamu sudah dengar belum?"
" Dengar apa?"
" Ya sudah, kamu tanya bapakmu saja"
Ia kebingungan mendengar kalimat ibunya dan penasaran bukan main,
" Dengar apa to?", ia berusaha mendesak ibunya, tapi perempuan itu sekarang malah terlihat acuh tak acuh.
" Ini telurnya, lekas sarapan, sudah ditunggu bapakmu beli katul buat nenekmu itu. Kalau bebeknya telat makan sehari saja, kita semua bisa kena marah. Nanti juga ada gotong royong, makanya cepetan"
Ia memang punya tugas beli katul buat bebek-bebek neneknya , ibu dari bapaknya yang sayang sekali sama binatang piaraannya itu. Di mana-mana orang ternak bebek ya angon sendiri, biar bebek-bebek itu cari makan sendiri, di tegalan, sawah, atau di sungai. Tapi neneknya lain, dengan alasan tubuhnya nggak kuat dia memilih untuk kasih makan bebeknya katul saja dan dia dan bapaknyalah yang kebagian mengurus soal konsumsi bebek itu. Tapi perkara bebek itu tak seberapa dipikirkannya, ia masih penasaran dengan omongan ibunya dan dia berusaha mendesaknya lagi,
" sebenarnya kabar apa to, kok harus tanya ke bapak?"
" Sudahlah, nanti kamu tahu sendiri"
Ibunya melangkah keluar meninggalkan dirinya yang mulai mangambil nasi ke atas piring dan bersiap sarapan.

(bersambung ke Bag II)